Memupuk Kesadaran untuk Mulai Bicara demi Peduli pada Pencegahan Bunuh Diri

Fimela.com, Jakarta Tragedi memilukan kembali terjadi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Seorang ibu nekat menghabisi nyawa dua anaknya sebelum mengakhiri hidupnya sendiri. Pemicunya, lagi-lagi, persoalan ekonomi. Kasus ini menjadi cermin betapa jurang kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia masih sangat dalam, sekaligus mengingatkan kita bahwa masalah kesehatan mental tak bisa dipandang sebelah mata.

Ibu seringkali menanggung stigma harus menjadi penopang hidup keluarga. Saat fungsi keluarga timpang, ibu kerap menanggung berat dari permasalahan ini. Saat masalah perekonomian yang menyebabkan bullying dan beban mental, membuat ibu sulit berdaya. Alih-alih berjuang untuk mendapatkan perlindungan tak sedikit ibu yang memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Bunuh diri kerap berakar pada berbagai persoalan kompleks, mulai dari tekanan ekonomi, beban sosial, hingga masalah pribadi yang tak terselesaikan. Faktor-faktor ini menjadi pemicu utama meningkatnya angka bunuh diri di Indonesia, dan menjadi tamparan keras bagi berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, maupun lingkungan keluarga.

Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri mencatat lonjakan signifikan dalam kasus bunuh diri selama lima tahun terakhir. Pada 2019 tercatat 230 kasus, angka ini naik drastis menjadi 640 kasus di 2020. Tahun 2021 sedikit menurun menjadi 620 kasus, namun kembali melonjak menjadi 902 kasus di 2022, dan pada 2023 mencapai 1.226 kasus.

Tak hanya itu, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 juga menyingkap fakta mengejutkan: 61 persen anak muda yang mengalami depresi dalam sebulan terakhir memiliki risiko 36 kali lebih tinggi untuk mengakhiri hidupnya. Ini menunjukkan betapa rentannya generasi muda terhadap tekanan psikis, yang jika tidak ditangani, dapat berujung fatal.

Bunuh diri tidak hanya menghentikan kehidupan satu individu. Rasa kehilangan, trauma, hingga beban ekonomi akan dirasakan keluarga yang ditinggalkan. Lebih luas lagi, masyarakat pun ikut merasakan dampaknya, baik secara sosial maupun psikis. Karena itu, isu bunuh diri bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan masalah bersama yang harus dicari solusinya.

Setiap 10 September diperingati sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Untuk periode 2024–2026, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusung tema “Changing the Narrative on Suicide” dengan seruan “Start the Conversation” atau “Mulailah Percakapan.”

Pesan ini mengingatkan kita bahwa berbicara tentang bunuh diri bukanlah hal tabu. Justru dengan membuka percakapan, kita bisa saling mendengarkan, memahami, dan memberi dukungan kepada mereka yang sedang berjuang dengan pikirannya.

Pemerintah Indonesia telah menyusun kerangka kerja pencegahan bunuh diri yang mencakup empat aspek utama:

• Pencegahan faktor risiko – mengurangi tekanan ekonomi dan sosial yang dapat memicu krisis mental.
• Pencegahan upaya menyakiti diri sendiri – meningkatkan layanan konseling dan akses kesehatan jiwa.
• Pencegahan upaya bunuh diri – memperluas sistem rujukan darurat untuk intervensi cepat.
• Suicide registry atau pelaporan bunuh diri – membangun basis data yang lebih akurat untuk pemantauan dan perumusan kebijakan.

Namun, kebijakan saja tidak cukup. Peran keluarga, lingkungan kerja, komunitas, hingga media, sangat penting untuk membangun kesadaran bersama. Membuka ruang dialog, menyediakan telinga yang mau mendengar, serta menumbuhkan empati bisa menjadi langkah kecil yang berdampak besar.

Banyak orang belum tahu bahwa BPJS Kesehatan juga bisa dimanfaatkan untuk layanan kesehatan mental, termasuk konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Prosesnya cukup mudah, hanya perlu mengikuti alur layanan berjenjang sesuai aturan BPJS.

Pertama, kamu perlu terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Kesehatan. Pastikan iuran rutin dibayarkan agar status kepesertaan tidak bermasalah saat digunakan.

Kedua, saat merasa butuh bantuan, datanglah terlebih dahulu ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang terdaftar di kartu BPJS-mu, biasanya puskesmas atau klinik. Sampaikan keluhanmu, misalnya sering cemas, sulit tidur, merasa tertekan, atau gejala lain yang mengganggu kesehatan mental. Dokter di FKTP akan melakukan pemeriksaan awal dan menentukan apakah perlu dirujuk ke spesialis.

Ketiga, jika memang diperlukan, dokter akan memberikan rujukan ke rumah sakit atau klinik yang memiliki layanan psikiatri atau kesehatan jiwa. Di tahap ini, kamu bisa mendapat konsultasi dengan psikiater, dan bila perlu, terapi atau obat-obatan juga ditanggung sesuai ketentuan BPJS.

Dengan mengikuti alur resmi ini, kamu tidak hanya mendapatkan layanan yang lebih terjangkau, tetapi juga bisa memperoleh pendampingan kesehatan mental secara berkelanjutan. Jadi, jangan ragu untuk memanfaatkan BPJS bukan hanya untuk penyakit fisik, tetapi juga untuk menjaga kondisi pikiran dan perasaan tetap sehat.

Kasus-kasus bunuh diri yang terus meningkat seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Mengubah narasi tentang bunuh diri bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau tenaga kesehatan, melainkan juga tugas setiap individu. Mari mulai percakapan, saling peduli, dan hadir bagi mereka yang membutuhkan. Karena terkadang, sebuah percakapan sederhana bisa menyelamatkan nyawa.

Jika kamu atau orang terdekatmu sedang berada dalam kondisi tertekan dan memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup, segera cari bantuan. Kamu bisa menghubungi Konseling Sehat Jiwa Kementerian Kesehatan di 119 ext. 8, atau layanan darurat setempat untuk mendapatkan pertolongan segera.