84% Penduduk Indonesia Swamedikasi, Waspadai Dampak Buruknya yang Mengintai Kesehatan

2 weeks ago 15

ringkasan

  • Swamedikasi di Indonesia sangat tinggi, mencapai 84,23% pada 2021, didorong oleh anggapan penyakit ringan, biaya terjangkau, dan kemudahan akses obat.
  • Swamedikasi tanpa pemahaman tepat berisiko fatal seperti salah diagnosis, dosis salah, reaksi obat tidak diinginkan, resistensi antibiotik, hingga kerusakan organ vital.
  • Peningkatan literasi kesehatan masyarakat dan peran apoteker dalam edukasi adalah kunci untuk memastikan swamedikasi dilakukan secara rasional dan aman.

Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, swamedikasi atau pengobatan mandiri telah menjadi praktik umum di tengah masyarakat Indonesia. Fenomena ini menawarkan kemudahan, namun menyimpan bahaya serius jika dilakukan tanpa pemahaman yang memadai. Data menunjukkan perilaku swamedikasi di Indonesia tergolong sangat tinggi.

Pada tahun 2013, tercatat sekitar 91% masyarakat Indonesia mempraktikkan swamedikasi. Angka ini bahkan meningkat pada tahun 2021, mencapai 84,23% penduduk menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Kondisi ini menunjukkan tren yang perlu diwaspadai bersama.

Masyarakat sering memilih swamedikasi karena penyakit dianggap ringan dan biaya pengobatan yang lebih terjangkau. Kemudahan memperoleh obat juga menjadi alasan utama di balik tingginya angka ini. Namun, apa saja dampak buruk swamedikasi yang perlu kita ketahui?

Bentuk Swamedikasi dan Obat yang Digunakan

Swamedikasi umumnya dilakukan untuk mengatasi keluhan atau penyakit ringan yang sering dialami Sahabat Fimela. Kondisi seperti demam, nyeri, pusing, batuk, dan influenza sering menjadi target pengobatan mandiri ini. Gangguan pencernaan ringan seperti diare dan maag juga kerap diatasi sendiri.

Selain itu, masalah kulit seperti gatal-gatal atau infeksi jamur juga sering menjadi alasan seseorang melakukan swamedikasi. Praktik ini biasanya melibatkan penggunaan obat-obatan yang mudah diakses. Obat-obatan tersebut tidak memerlukan resep dokter untuk didapatkan.

Obat yang umum digunakan untuk swamedikasi meliputi obat bebas (OTC) dan obat bebas terbatas. Obat wajib apotek (OWA) juga dapat diperoleh dengan batasan tertentu. Tidak jarang pula masyarakat memilih obat tradisional atau herbal sebagai alternatif pengobatan.

Penting untuk diingat bahwa meskipun obat-obatan ini tersedia bebas, penggunaannya tetap harus sesuai aturan. Pemahaman yang benar tentang dosis dan indikasi sangatlah krusial. Ini demi mencegah timbulnya dampak buruk swamedikasi yang tidak diinginkan.

Bahaya dan Dampak Buruk Swamedikasi Tanpa Pemahaman Tepat

Mengonsumsi obat-obatan secara sembarangan atau tanpa pemahaman yang tepat dapat menimbulkan berbagai dampak fatal bagi tubuh. Sahabat Fimela perlu menyadari bahwa kemudahan akses obat tidak berarti bebas risiko. Justru, hal ini bisa menjadi pemicu masalah kesehatan yang lebih serius.

Salah satu risiko utama adalah salah diagnosis, di mana gejala penyakit yang lebih serius bisa tertutupi. Penggunaan obat atau dosis yang salah juga dapat memperburuk kondisi atau memicu efek samping berbahaya. Reaksi obat tidak diinginkan, termasuk alergi atau interaksi obat, juga menjadi ancaman nyata.

Lebih jauh lagi, penggunaan antibiotik tanpa resep dokter dapat memicu resistensi. Hal ini membuat infeksi lebih sulit diobati di kemudian hari. Beberapa jenis obat juga berisiko menimbulkan kecanduan atau ketergantungan jika digunakan tanpa pengawasan medis.

Berikut adalah beberapa dampak buruk swamedikasi yang perlu diwaspadai oleh Sahabat Fimela:

  • Salah Diagnosis: Tanpa pemeriksaan medis, seseorang bisa keliru menilai gejala, menutupi penyakit serius, dan menunda penanganan.
  • Penggunaan Obat atau Dosis yang Salah: Mengonsumsi obat tidak sesuai atau dosis tidak tepat bisa memperburuk kondisi atau menyebabkan efek samping berbahaya.
  • Reaksi Obat Tidak Diinginkan: Alergi, efek samping, atau interaksi obat berbahaya dengan obat lain, jamu, atau suplemen tanpa resep medis.
  • Resistensi Antibiotik: Penggunaan antibiotik tanpa resep dokter dapat menyebabkan bakteri kebal, membuat infeksi lebih sulit diobati.
  • Kecanduan atau Ketergantungan: Beberapa obat, seperti pereda nyeri, berisiko menimbulkan ketergantungan jika digunakan tanpa pengawasan.
  • Kerusakan Organ Vital: Konsumsi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan gangguan pada hati dan ginjal, organ penting dalam pengolahan obat.
  • Efek Pengobatan Tidak Tercapai atau Muncul Penyakit Baru: Swamedikasi yang tidak tepat bisa membuat obat tidak efektif, menimbulkan masalah pengobatan, atau memicu penyakit baru.
  • Pemborosan Biaya dan Waktu: Kesembuhan tertunda akibat swamedikasi tidak rasional dapat memboroskan biaya dan waktu untuk pengobatan lanjutan.

Peran Apoteker dan Literasi Kesehatan untuk Swamedikasi Aman

Para ahli kesehatan menyoroti rendahnya literasi kesehatan masyarakat sebagai pemicu utama risiko swamedikasi. Menurut Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, lebih dari separuh masyarakat Indonesia masih melakukan swamedikasi tanpa pemahaman cukup. Ini terkait dosis, interaksi obat, dan efek samping yang mungkin timbul.

Apotek memiliki peran krusial dalam memberikan informasi obat yang objektif dan rasional kepada masyarakat. Apoteker sebagai tenaga profesional kesehatan bertanggung jawab penuh dalam memberikan edukasi penggunaan obat yang tepat. Mereka membantu pasien memilih obat sesuai keluhan.

Salah satu inisiatif datang dari Viva Apotek yang aktif meningkatkan literasi kesehatan. Mereka berpartisipasi dalam Indonesia Wellness Festival (Wellfest) 2025. Misi utamanya adalah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang penggunaan obat yang rasional dan aman.

Amanda Mardhatillah, Head of Marketing Viva Apotek, menyatakan bahwa membangun masyarakat yang melek kesehatan adalah investasi terbaik. Viva Apotek ingin menjadi mitra literasi kesehatan yang membimbing masyarakat membuat keputusan tepat. Mereka mengadakan talkshow dan kampanye "Obat Tepat, Hidup Sehat".

“Kami ingin mengajak masyarakat untuk lebih kritis dan bijak dalam memilih produk kesehatan. Literasi kesehatan yang baik adalah fondasi penting bagi tercapainya Indonesia Sehat 2045. Dan VIVA Apotek berkomitmen untuk berada di garda depan dalam perjalanan panjang tersebut,” kata Amanda 

Meskipun swamedikasi dapat menjadi pilihan praktis untuk penyakit ringan, penting membekali diri dengan pemahaman benar. Konsultasi dengan tenaga kesehatan, terutama apoteker, adalah langkah bijak untuk keamanan. Jika gejala tidak membaik dalam tiga hari, segera kunjungi dokter untuk penanganan lebih lanjut.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Vinsensia Dianawanti

    Author

    Vinsensia Dianawanti
Read Entire Article
Health | Komunitas | Berita Hot |