ringkasan
- Paparan berita negatif memicu respons stres fisiologis dan memperburuk kondisi mental seperti depresi dan kecemasan, bahkan dalam waktu singkat.
- Dampak jangka panjang meliputi desensitisasi, kelelahan mental, dan peningkatan kekhawatiran pribadi, diperparah oleh siklus berita 24 jam dan media sosial.
- Untuk mengatasi kecemasan akibat berita negatif, penting untuk memilah informasi, membatasi paparan, dan mencari sumber yang seimbang, terutama bagi kelompok rentan.
Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, di era informasi yang serba cepat ini, kita seringkali dihadapkan pada derasnya arus berita, baik melalui televisi, media online, maupun media sosial. Namun, pernahkah Anda menyadari bahwa paparan berita negatif yang terus-menerus dapat memiliki dampak serius pada kesehatan mental kita? Sebuah studi bahkan menemukan bahwa hanya dalam 14 menit, berita negatif mampu meningkatkan gejala kecemasan.
Dampak ini tidak hanya bersifat sesaat, melainkan dapat memicu respons fisiologis, psikologis, dan emosional yang signifikan dalam jangka panjang. Kondisi ini bisa berkembang menjadi masalah kesehatan mental yang lebih serius jika tidak ditangani dengan bijak. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bagaimana berita negatif memengaruhi diri dan mencari cara mengatasi kecemasan mendengar berita negatif.
Menjaga kesehatan mental di tengah gempuran informasi negatif adalah sebuah keharusan. Dengan memahami mekanisme dampaknya dan menerapkan strategi yang tepat, kita dapat melindungi diri dari efek buruk paparan berita. Mari kita telaah lebih dalam bagaimana fenomena ini bekerja dan langkah-langkah konkret yang bisa kita ambil.
Dampak Fisiologis dan Psikologis Berita Negatif
Paparan berita negatif yang berlebihan dapat memicu respons 'lawan atau lari' dalam tubuh kita. Respons ini menyebabkan pelepasan hormon stres seperti adrenalin dan kortisol, yang ditandai dengan detak jantung cepat, pernapasan dangkal, dan sakit perut. Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus, tubuh akan mengalami stres kronis yang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh, membuat kita lebih rentan terhadap berbagai penyakit.
Secara psikologis, berita negatif terbukti meningkatkan gejala depresi dan kecemasan. Penelitian menunjukkan bahwa orang mengalami peningkatan gejala setelah hanya 14 menit mengonsumsi berita yang mengganggu. Gejala ini akan memburuk jika seseorang merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi yang diberitakan. Dalam kasus ekstrem, paparan terus-menerus dapat memicu gangguan kecemasan atau memperburuk kondisi kesehatan mental yang sudah ada.
Bahkan, paparan berita tentang peristiwa traumatis massal, seperti bencana alam atau serangan teroris, dapat memprediksi gejala kecemasan, depresi, dan stres pasca-trauma (PTSD), meskipun individu tersebut tidak terpapar langsung pada peristiwa tersebut. Sebuah studi menemukan hubungan antara jumlah paparan berita di media sosial dengan gejala depresi dan PTSD yang lebih tinggi. Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media terhadap kondisi mental kita.
Mengenal Perubahan Kognitif dan Emosional Jangka Panjang
Salah satu efek jangka panjang dari paparan berita negatif adalah desensitisasi. Ketika kita berulang kali dihadapkan pada berita yang mengejutkan atau traumatis, kita mungkin menjadi mati rasa secara emosional atau kurang berempati terhadap penderitaan orang lain. Meskipun ini mungkin tampak seperti mekanisme pertahanan diri, desensitisasi dapat mengurangi kemampuan kita untuk merespons secara manusiawi.
Selain itu, paparan berita negatif yang konstan dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk mengatasi stres sehari-hari. Hal ini diperparah dengan perasaan putus asa dan ketidakberdayaan, terutama ketika kita merasa tidak memiliki kendali atas situasi yang diberitakan. Volume berita yang sangat besar yang kita konsumsi setiap hari juga dapat menyebabkan kelelahan mental dan kelelahan informasi, meningkatkan tingkat stres dan kebingungan.
Fenomena 'doomscrolling' muncul sebagai istilah populer selama pandemi COVID-19, menggambarkan kebiasaan menggulir berita buruk secara kompulsif meskipun menyebabkan tekanan. Siklus berita 24 jam dan sifat adiktif media sosial, dengan judul clickbait dan algoritma yang dirancang untuk membuat kita terus kembali, memperkuat perilaku ini. Ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, merusak kesehatan mental seseorang melalui peningkatan kekhawatiran dan kecemasan pribadi.
Siapa yang Lebih Rentan dan Cara Mengatasi Kecemasan Mendengar Berita Negatif
Beberapa kelompok masyarakat lebih rentan terhadap dampak negatif berita. Komunitas BIPOC (Black, Indigenous, and People of Color) dan LGBTQ+ seringkali lebih terpengaruh. Selain itu, orang dewasa muda, wanita, dan remaja (terutama usia 15-20 tahun) yang intens berinteraksi dengan media sosial, lebih mungkin mengalami tekanan emosional akibat konsumsi berita dan perilaku doomscrolling.
Lalu, bagaimana cara mengatasi kecemasan mendengar berita negatif? Psikolog Klinis Nena Mawar Sari dari RSUD Wangaya Kota Denpasar, Bali, menekankan pentingnya memilah dan memilih informasi. Masyarakat diimbau untuk berhati-hati terhadap berita yang berpotensi menyebabkan perasaan kewalahan dan stres. Kunci utamanya adalah melakukan filter informasi secara bijak.
Sahabat Fimela dapat membatasi waktu paparan berita, terutama yang bersifat sensasional. Fokuslah pada berita yang benar-benar memberikan manfaat dan mendukung pertumbuhan pribadi, bukan yang justru membebani pikiran. Mengurangi doomscrolling, mencari sumber berita yang kredibel dan seimbang, serta meluangkan waktu untuk aktivitas positif lainnya adalah langkah penting. Ingat, kesehatan mental adalah aset berharga yang harus diutamakan di atas segalanya.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.