Meredakan Gelombang Cemas: Seni Self-Soothing agar Jiwa Tetap Tenang

9 hours ago 2

Fimela.com, Jakarta Di era ketika layar gawai terasa seperti pintu yang tak pernah ditutup, berita datang silih berganti tanpa memberi ruang napas. Ada kabar baik, tapi tak jarang kabar buruk menyusup, menciptakan gelombang cemas yang sukar diredakan. Rasa lelah pun tak hanya muncul di tubuh, tapi juga di dalam jiwa.

Sahabat Fimela, inilah alasan mengapa istilah self-soothing kini semakin relevan. Self-soothing bukan sekadar tren, melainkan keterampilan merawat diri agar tidak terseret arus panik. Di tengah derasnya konten yang menekan perasaan bahkan menguras emosi, kemampuan untuk menenangkan diri sendiri adalah bentuk kasih sayang pada jiwa.

Menyaring Informasi, Menjaga Ketenangan Pikiran

Kebiasaan menelan semua berita yang datang justru sering kali membuat kita kewalahan.

Survei Reuters Institute menunjukkan bahwa 40% responden secara global kerap menghindari berita karena merasa suasana hati memburuk. Angka ini meningkat dari 29% pada 2017, sebuah tanda bahwa filter internal semakin dibutuhkan.

Salah satu langkah praktis adalah menetapkan batasan. Misalnya, cukup membaca berita satu atau dua kali sehari. Selebihnya, arahkan perhatian pada aktivitas yang menghidupkan ketenangan: membaca buku, berkebun, atau sekadar duduk mendengarkan musik. Disiplin kecil seperti ini bisa menjadi pagar agar pikiran tetap jernih.

Dengan begitu, selain terhindar dari banjir informasi yang menguras tenaga dan emosi, kita juga bisa lebih mudah mengelola arus berita yang masuk. Membatasi konsumsi berita berarti melindungi energi emosional yang penting.

Sentuhan Lembut yang Meredakan Badai

Tidak semua teknik self-soothing membutuhkan ruang khusus.

Ada cara sederhana tetapi bisa sangat efektif: meletakkan tangan di dada atau perut, lalu menarik napas dalam selama dua puluh detik. Riset membuktikan bahwa self-compassionate touch ini menurunkan kadar kortisol—hormon stres yang sering menjadi biang keresahan.

Kita bisa melakukannya kapan saja, bahkan di sela aktivitas sibuk. Sentuhan lembut dari diri sendiri adalah pengingat bahwa tubuh selalu ada untuk mendukung, bukan hanya menuntut.

Semakin sering teknik ini dilakukan, semakin terlatih pula tubuh mengenali sinyal bahaya semu. Dengan demikian, kita bisa kembali pada rasa tenang tanpa harus menunggu dunia di luar menjadi lebih baik.

Tips Mengatasi Doomscrolling dan Mengurangi Kecemasan

Kebiasaan doomscrolling—menyusuri berita buruk tanpa henti—ibarat menyelam di laut gelap tanpa oksigen. Semakin dalam kita terjebak, semakin sulit naik ke permukaan. Dampaknya nyata: kecemasan meningkat, tidur terganggu, dan kelelahan emosional bertambah.

Riset dari University of British Columbia menyarankan langkah-langkah praktis: refleksi kapan media sosial bermanfaat, mengenali konten yang hanya polesan, unfollow akun pemicu perbandingan negatif, dan lebih memilih interaksi aktif ketimbang scrolling pasif.

Dengan cara ini, selain mengurangi paparan konten merugikan, kita juga bisa melatih diri agar media sosial kembali menjadi ruang yang lebih sehat, bukan penjara emosi.

Aktif di Dunia Maya, Tenang di Dunia Nyata

Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara pasif—hanya melihat tanpa berinteraksi—berkaitan dengan meningkatnya kecemasan sosial. Sebaliknya, penggunaan aktif, seperti berdiskusi atau berbagi cerita, justru bisa memperkuat rasa keterhubungan.

Ketika kita memilih untuk terlibat secara aktif, ruang digital berubah menjadi tempat bertumbuh, bukan sekadar layar penuh perbandingan. Bahkan percakapan singkat dengan orang yang satu frekuensi dapat memberikan rasa nyaman.

Aktif berarti hadir dengan kesadaran penuh, bukan sekadar terbawa arus. Dari sinilah keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata bisa lebih terjaga.

Kecemasan sering kali datang tanpa bisa kita antisipasi. Hanya saja sebelum panik berlarut-larut, ada satu pertanyaan penting: “Apakah saya butuh informasi atau justru kenyamanan emosional?” Pertanyaan sederhana ini membantu memilah respons yang tepat.

Jika jawabannya adalah kenyamanan, maka pilihlah jalan self-soothing: meditasi singkat, journaling, atau menghubungi sahabat dekat. Tindakan kecil ini membuat hati terasa lebih ringan dan pikiran lebih lapang.

Dengan mengenali kebutuhan sejati, kita tak lagi terjebak pada lingkaran stres. Sebaliknya, rasa cemas bisa diarahkan menjadi energi untuk memahami diri lebih dalam.

Grounding: Menghadirkan Kemampuan Hadir di Masa Kini

Gelombang cemas sering menyeret pikiran jauh ke masa depan. Latihan grounding membantu kita kembali ke momen kini. Rasakan sensasi tangan ketika mencubit lembut kulit, dengarkan suara napas, atau amati tekstur benda di sekitar.

Teknik ini sederhana, tetapi memberi pesan kuat: saat ini adalah satu-satunya waktu nyata. Dengan grounding, tubuh dan pikiran kembali terhubung, membuat ketenangan lebih mudah diraih.

Kita akan merasakan bahwa dunia luar mungkin bising, tetapi di dalam diri selalu ada ruang hening untuk beristirahat.

Self-soothing bukan sekadar teknik menenangkan, melainkan seni merawat jiwa. Di tengah gempuran informasi yang tak terkendali, ia menjadi jangkar agar hati tetap teduh, kepala tetap jernih, dan harapan tetap menyala.

Kalau kita konsisten melatih keterampilan ini kita akan merasakan perbedaan: bukan dunia yang berubah, melainkan cara kita berdamai dengan kecemasan diri.

Ketenangan bukan berarti sepi dari masalah. Tenang adalah keberanian untuk memilih sikap, bahwa di tengah badai, jiwa kita tetap punya rumah untuk beristirahat.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Health | Komunitas | Berita Hot |