Pengertian Sikap Denial, Ciri-Ciri, hingga Cara Mengatasinya Menurut Psikologi

9 hours ago 5

Fimela.com, Jakarta - Denial adalah bentuk penolakan terhadap kenyataan. Meskipun terdengar sepele, kalimat ini menyimpan makna yang dalam dalam konteks psikologi. Denial merujuk pada situasi di mana individu enggan mengakui fakta atau emosi tertentu sebagai mekanisme perlindungan dari rasa sakit, kecemasan, atau rasa bersalah. Proses ini bukan hanya sekadar ketidakpercayaan, tetapi juga merupakan tindakan bawah sadar yang berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan emosional ketika seseorang menghadapi kenyataan yang sulit untuk diterima.

Walaupun sering kali dilihat sebagai indikasi kelemahan atau ketidakjujuran terhadap diri sendiri, denial sebenarnya adalah respons yang wajar dari manusia. Sebagaimana dinyatakan oleh Harvard Health, mekanisme ini memberikan kesempatan untuk beristirahat secara emosional, sehingga individu dapat menyesuaikan diri sebelum akhirnya menghadapi kenyataan. Namun, jika keadaan denial berlangsung terlalu lama, hal ini bisa menjadi penghalang yang signifikan dalam proses penyembuhan, perubahan, dan perkembangan pribadi. Artikel ini akan mengeksplorasi lebih dalam tentang makna denial, akar psikologisnya, serta strategi untuk menghadapinya dengan cara yang sehat.

Apa Itu Denial Menurut Psikologi

Denial dapat dipahami sebagai suatu mekanisme pertahanan yang digunakan individu untuk menolak mengakui fakta, emosi, atau situasi tertentu yang dianggap dapat mengganggu keseimbangan emosional mereka. Dalam ranah psikologi, denial termasuk dalam kategori defense mechanisms, yaitu strategi mental yang secara tidak sadar diterapkan untuk melindungi diri dari kecemasan atau konflik internal. Sebagai contoh, kita dapat melihat perilaku ini dalam kehidupan sehari-hari, seperti individu yang terus-menerus menyangkal bahwa mereka memiliki masalah dengan alkohol, atau orang tua yang enggan mengakui bahwa anak mereka mengalami gangguan perilaku. Penolakan ini bukanlah akibat dari kebodohan, melainkan karena pikiran mereka belum siap untuk menerima kenyataan yang ada.

Menurut Verywell Mind, denial sering kali muncul ketika seseorang menghadapi perubahan signifikan atau situasi yang penuh tekanan, seperti kehilangan orang terkasih, diagnosis penyakit serius, atau kegagalan dalam karier. Dalam jangka pendek, mekanisme ini dapat berfungsi untuk menjaga kestabilan emosional seseorang agar tidak terpuruk secara mendalam. Denial berperan sebagai "penyangga emosional" yang memberikan waktu bagi individu untuk beradaptasi dengan realitas baru yang menyakitkan. Namun, jika penolakan ini terus berlangsung tanpa disadari, mekanisme tersebut dapat berfungsi sebagai penghalang. Ketika seseorang terus-menerus menolak untuk menghadapi kebenaran, mereka akan terjebak dalam siklus penyangkalan yang hanya akan memperburuk masalah yang ada. Psychology Today menyebut kondisi ini sebagai maladaptive denial, di mana penolakan terhadap kenyataan tidak lagi memberikan perlindungan, melainkan justru melukai diri sendiri dan orang lain.

Asal-Usul dan Teori Psikoanalisis tentang Denial

Konsep penolakan atau denial pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud, yang dikenal sebagai bapak psikoanalisis modern. Freud mengamati bahwa manusia cenderung menolak kenyataan yang menimbulkan kecemasan, karena ego, yang berfungsi menjaga kestabilan psikologis, berusaha melindungi individu dari perasaan takut dan rasa bersalah yang menyakitkan.

Putri Freud, Anna Freud, kemudian memperluas mekanisme ini dengan mengkategorikan denial sebagai salah satu dari berbagai mekanisme pertahanan, bersama dengan represi, proyeksi, dan rasionalisasi. Dalam perspektif psikoanalitik klasik, denial sering kali muncul pada masa kanak-kanak atau remaja sebagai cara untuk menghadapi situasi yang menakutkan. Sebagai contoh, seorang anak yang mengalami kehilangan orang tua mungkin menolak untuk percaya bahwa mereka telah meninggal, karena kenyataan tersebut terlalu menyakitkan untuk dihadapi.

Seiring bertambahnya usia, individu yang tidak belajar mengelola perasaan kehilangan ini dapat membawa pola denial tersebut ke dalam kehidupan dewasa mereka, menjadikannya sebagai kebiasaan psikologis yang sulit untuk diubah. Dalam perkembangan psikologi modern, teori Freud tetap dianggap relevan meskipun mengalami modifikasi. Para psikolog kontemporer kini memandang denial bukan hanya sebagai penolakan total terhadap kenyataan, melainkan juga sebagai bentuk distorsi kognitif, di mana individu mengubah persepsi terhadap fakta agar lebih dapat diterima.

Contohnya, seseorang yang bekerja secara berlebihan mungkin berujar, Saya hanya sibuk, bukan stres, meskipun tubuhnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang ekstrem. Hal ini menunjukkan bahwa denial bukan sekadar ketidakpercayaan, tetapi juga merupakan bentuk penyesuaian realitas agar lebih mudah diterima oleh diri sendiri. Selain itu, denial juga berkaitan erat dengan beberapa kondisi mental tertentu, seperti kecanduan, gangguan kepribadian narsistik, dan gangguan depresi.

Dalam konteks ini, denial berfungsi sebagai dinding pelindung yang menghalangi seseorang dari rasa bersalah atau malu yang mendalam. Namun, sayangnya, dinding ini juga menutup jalan menuju pemulihan, sehingga individu terjebak dalam pola pikir yang tidak sehat. Dengan demikian, memahami mekanisme denial sangat penting untuk membantu individu mengatasi masalah psikologis yang mereka hadapi.

Dua Sisi Denial: Melindungi atau Menyakiti?

Denial memiliki dua sisi yang berbeda; satu sisi berfungsi sebagai pelindung, sementara sisi lainnya dapat menjadi racun bagi perkembangan emosional seseorang. Denial dapat bersifat adaptif, yang berarti membantu, atau maladaptif, yang merugikan, tergantung pada cara dan sejauh mana individu menggunakannya.

Sisi Positif (Adaptif):

  • Melindungi diri dari guncangan emosional saat menghadapi berita atau peristiwa traumatis.
  • Memberi waktu untuk beradaptasi dengan kenyataan baru tanpa langsung hancur secara emosional.
  • Dapat membantu seseorang tetap berfungsi dalam kehidupan sehari-hari sementara ia memproses rasa sakitnya.

Sisi Negatif (Maladaptif):

  • Menunda penyelesaian masalah penting seperti kecanduan, kekerasan, atau penyakit serius.
  • Menyebabkan hubungan sosial terganggu karena seseorang menolak mengakui kontribusinya terhadap konflik.
  • Membuat individu hidup dalam ilusi dan kehilangan kesempatan untuk berkembang secara emosional dan spiritual.

Dalam konteks terapi, para psikolog menekankan pentingnya mengenali titik di mana denial berhenti menjadi perlindungan dan mulai menjadi penghalang. Saat seseorang terus menolak realitas yang sudah jelas, ia bukan lagi melindungi diri — tetapi menyakiti diri sendiri dengan cara yang halus. 

Ciri-Ciri Seseorang Sedang Mengalami Denial

Menyadari bahwa seseorang sedang berada dalam fase denial tidak selalu mudah. Bahkan, kebanyakan orang tidak sadar bahwa mereka sedang melakukannya. Namun, ada beberapa tanda umum yang bisa dikenali, baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Tanda-tanda seseorang dalam denial antara lain:

  • Menolak Fakta yang Jelas
  • Mengabaikan atau Mengelak Diskusi Masalah
  • Memutarbalikkan Informasi
  • Justifikasi Berlebihan terhadap Perilaku yang Salah
  • Menolak Tanggung Jawab atau Menyalahkan Orang Lain
  • Minimisasi Masalah
  • Berpura-pura Bahwa “Semuanya Baik-baik Saja”
  • Hanya Fokus pada Informasi yang Mendukung Keyakinan Diri
  • Promosi Janji di Masa Depan Tanpa Tindakan Saat Ini
  • Menolak Membicarakan Perasaan di Balik Masalah

Cara Mengatasi Denial Menurut Psikologi

Mengatasi denial bukan berarti langsung memaksa diri menerima kenyataan pahit. Sebaliknya, psikologi modern menekankan pentingnya proses bertahap yang penuh empati dan kesadaran diri. Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk keluar dari lingkaran denial:

  • Sadari alasan di balik penolakan. Tanyakan pada diri sendiri: “Apa yang sebenarnya saya takutkan jika saya menerima kenyataan ini?”
  • Pertimbangkan konsekuensi. Bayangkan apa yang akan terjadi jika terus menolak menghadapi masalah tersebut.
  • Cari perspektif luar. Bicarakan dengan teman, keluarga, atau terapis yang bisa memberi sudut pandang objektif.
  • Kelola emosi dengan sehat. Gunakan teknik mindfulness, journaling, atau meditasi untuk menenangkan diri.
  • Gunakan bantuan profesional. Terapi psikodinamik atau konseling bisa membantu memahami akar emosional di balik denial.
  • Berlatih penerimaan. Mulai dengan mengakui perasaan yang muncul tanpa menghakimi diri sendiri.
  • Bangun kebiasaan menulis jurnal emosi. Menuliskan pikiran dan perasaan harian membantu memetakan pola denial dan penghindaran secara objektif, serta memberi ruang untuk memahami perubahan emosional.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Read Entire Article
Health | Komunitas | Berita Hot |