Siapa Saja yang Rentan Mengalami Exhausted adalah Kondisi Kelelahan Parah? Berikut Infonya

Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, pernahkah Anda merasa lelah yang tak kunjung hilang meskipun sudah beristirahat? Kondisi ini bisa jadi merupakan exhausted, sebuah tingkat kelelahan yang jauh melampaui rasa kantuk biasa. Memahami siapa saja yang rentan mengalami exhausted adalah langkah awal untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan kita.

Kelelahan parah ini tidak hanya sekadar kurang tidur, namun bisa menjadi indikator adanya masalah kesehatan yang lebih serius. Berbagai faktor, mulai dari kondisi medis hingga gaya hidup, dapat memicu seseorang terjebak dalam lingkaran kelelahan ekstrem. Fenomena ini memerlukan perhatian khusus agar tidak mengganggu kualitas hidup sehari-hari.

Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai kelompok dan faktor yang membuat seseorang lebih rentan terhadap kondisi exhausted. Dengan informasi yang akurat, Sahabat Fimela diharapkan dapat lebih peka terhadap sinyal tubuh dan mengambil tindakan pencegahan yang tepat. Mari kita selami lebih dalam penyebab di balik kelelahan yang mendalam ini.

Banyak kondisi medis dan penyakit kronis dapat menjadi pemicu utama kelelahan yang parah dan berkepanjangan. Kelelahan ini seringkali menjadi gejala dominan yang mengganggu aktivitas penderitanya. Penting untuk mengenali tanda-tanda ini agar penanganan medis dapat segera dilakukan.

Beberapa infeksi, seperti mononukleosis, HIV, COVID-19, influenza, dan penyakit Lyme, dikenal dapat menyebabkan kelelahan ekstrem. Bahkan, kelelahan pasca-COVID-19 atau long COVID dapat berlangsung berminggu-minggu, memengaruhi seperempat penderitanya. Infeksi bakteri serius seperti infeksi saluran kemih atau pneumonia juga dapat memicu kelelahan mendadak yang hebat.

Selain infeksi, gangguan autoimun seperti diabetes tipe 1, lupus, multiple sclerosis (MS), dan rheumatoid arthritis juga seringkali disertai kelelahan mendalam. Kondisi kronis lain seperti kanker, fibromyalgia, penyakit ginjal, dan diabetes tipe 2 juga menyebabkan kelelahan berkepanjangan. Masalah jantung dan paru-paru, termasuk penyakit jantung dan PPOK, juga memiliki kelelahan sebagai gejala umum.

Gangguan tidur seperti insomnia, sleep apnea, dan narkolepsi secara langsung menyebabkan kelelahan ekstrem. Kekurangan nutrisi seperti vitamin D atau B12, serta anemia defisiensi besi, juga merupakan penyebab umum. Ketidakseimbangan hormon tiroid dan kondisi kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan juga tak jarang membuat seseorang merasa exhausted.

Pilihan gaya hidup sehari-hari memiliki dampak signifikan terhadap tingkat energi dan kerentanan seseorang terhadap exhausted. Kebiasaan yang kurang sehat dapat menguras cadangan energi tubuh secara perlahan, bahkan tanpa disadari. Mengubah pola hidup menjadi lebih baik adalah kunci untuk mengatasi kelelahan ini.

Kebiasaan tidur yang buruk adalah salah satu penyebab paling umum. Kurang tidur, kualitas tidur yang buruk, atau bahkan tidur terlalu banyak dapat mengganggu siklus pemulihan tubuh. Pola makan yang tidak seimbang, seperti diet rendah kalori atau makanan tinggi energi namun miskin nutrisi, juga tidak menyediakan bahan bakar yang cukup untuk tubuh berfungsi optimal.

Penggunaan alkohol berlebihan dan narkoba ilegal dapat memperburuk kondisi kelelahan, karena zat-zat ini mengganggu pola tidur dan fungsi sistem saraf. Kurangnya aktivitas fisik atau justru aktivitas berlebihan tanpa istirahat yang cukup juga bisa memicu exhausted. Keduanya sama-sama menguras energi tubuh jika tidak seimbang.

Stres yang berkepanjangan dan burnout adalah faktor gaya hidup modern yang sangat relevan. Burnout adalah keadaan kelelahan emosional, fisik, dan mental akibat stres berlebihan di tempat kerja atau kehidupan. Jet lag juga merupakan faktor gaya hidup yang dapat menyebabkan kelelahan sementara namun signifikan.

Selain kondisi medis dan gaya hidup, beberapa karakteristik demografi dan sifat individu juga dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap exhausted. Memahami faktor-faktor ini membantu kita mengenali pola dan memberikan dukungan yang tepat bagi mereka yang berisiko.

Secara demografi, wanita lebih rentan mengalami kelelahan dibandingkan pria. Wanita empat kali lebih mungkin menderita Myalgic Encephalomyelitis/Chronic Fatigue Syndrome (ME/CFS) dan memiliki tingkat burnout yang lebih tinggi. Usia juga berperan, dengan ME/CFS sering dimulai pada usia 30-50 tahun, sementara burnout bisa menyerang wanita muda usia 20-35 tahun.

Lingkungan kerja dan tekanan sosial juga menjadi faktor penting. Tekanan kerja yang berlebihan, kurangnya pengakuan, dan ekspektasi yang tidak jelas dapat menyebabkan sindrom burnout. Budaya kerja yang mengutamakan produktivitas di atas kesejahteraan juga berkontribusi pada kelelahan kronis. Peristiwa hidup yang merugikan, seperti kesedihan atau trauma, juga dapat memicu exhausted.

Karakteristik individu seperti perfeksionisme dan kesulitan menetapkan batasan juga membuat seseorang lebih rentan terhadap kelelahan mental dan burnout. Individu neurodivergen (misalnya, ADHD, autisme) juga dapat mengalami burnout karena tuntutan sosial atau sensory overload. Bahkan, faktor genetika juga diduga berperan dalam kerentanan terhadap ME/CFS.