Fimela.com, Jakarta Di tengah derasnya arus informasi digital, istilah self-diagnose atau mendiagnosis diri sendiri mulai ramai diperbincangkan, khususnya di kalangan generasi muda. Didukung kemudahan akses terhadap berbagai konten kesehatan fisik dan mental di media sosial, banyak individu merasa mampu mengenali dan menyimpulkan kondisi yang sedang mereka alami—tanpa konsultasi langsung dengan profesional. Namun, seberapa akurat dan aman sebenarnya praktik ini? Apakah self-diagnose dapat menjadi solusi awal bagi individu untuk lebih mengenal dirinya, atau justru menjadi ilusi yang berisiko?
Self-diagnose merujuk pada upaya seseorang dalam menilai atau menyimpulkan kondisi kesehatan baik fisik maupun mental berdasarkan informasi yang dikonsumsi secara mandiri, seperti artikel daring, video edukatif, atau pengalaman pribadi orang lain. Fenomena ini berkembang pesat di era digital, dimana informasi kesehatan semakin mudah ditemukan dan dibagikan. Di satu sisi, self-diagnose dianggap dapat membantu meningkatkan kesadaran diri (self-awareness) dan menjadi langkah awal menuju bantuan profesional. Namun disisi lain, diagnosis yang tidak akurat berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, kekhawatiran berlebihan, hingga penanganan yang tidak tepat.
Pengaruh komunikasi digital
Dalam penerapan, self-diagnose banyak dipengaruhi oleh komunikasi digital interpersonal dan komunikasi massa daring. Individu seringkali memperoleh informasi melalui konten edukasi di media sosial (seperti Instagram, TikTok, dan YouTube), forum diskusi (misalnya Reddit, Quora), hingga thread cerita pengalaman pribadi di Twitter dan blog. Jenis komunikasi ini bersifat terbuka, dan partisipatif, memungkinkan pengguna untuk merasa terhubung satu sama lain. Sayangnya, keterbukaan tersebut juga menyebabkan penyebaran informasi yang belum tentu terverifikasi. Dalam banyak kasus, komunikasi yang terjadi bersifat satu arah dan tidak interaktif dengan sumber profesional, yang dapat menimbulkan kesalahan persepsi.
Beberapa pendekatan yang mendorong individu melakukan self-diagnose antara lain:
- Pendekatan Kognitif-Reflektif: Individu mencoba mengenali pola pikir dan emosi pribadi melalui refleksi mandiri atas konten yang dikonsumsi.
- Pendekatan Naratif: Banyak yang terdorong melakukan self-diagnose setelah membaca atau mendengar cerita pribadi orang lain yang memiliki pengalaman serupa. Pendekatan ini memberikan rasa validasi dan kedekatan emosional.
- Pendekatan Edukatif Parsial: Berbagai konten edukatif mencoba menjelaskan gejala secara ringkas dan populer, namun sering kali tanpa konteks klinis yang memadai. Solusi Awal atau Ilusi yang Menyesatkan? Benar adanya, self-diagnose memiliki beberapa manfaat jika dilihat dari sudut pandang berbeda seperti - Lebih peduli akan adanya tanda-tanda kesehatan mental
- Membantu proses refleksi pribadi sebelum mengambil langkah konsultatif dengan profesional.
- Menjadi titik awal dalam mencari pengetahuan yang lebih mendalam tentang kondisi kesehatan diri.
Bahaya Self-Diagnosis
- Potensi salah diagnosis karena minimnya pemahaman medis.
- Penggunaan istilah psikologis yang keliru dan terlalu umum.
- Kecenderungan untuk menyepelekan atau malah melebih-lebihkan gejala.
Untuk itu, mengambil langkah awal yang tepat serta mengenali emosi serta kondisi pribadi memang penting, tetapi interpretasi dan penanganannya tetap sebaiknya dilakukan bersama tenaga ahli. Konsultasi dengan psikolog, psikiater, atau konselor berlisensi akan memberikan pemahaman yang lebih akurat, serta penanganan yang sesuai dengan kebutuhan individu.
Penulis: Laurenxa Pratiwi Martono
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.